SOAL SAMPAH, LOBAR HARUS CERAI DENGAN MATARAM
Oleh : Rasinah Abdul Igit
Kapan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok tidak bisa dipakai menampung sampah lagi? Tahun depan. Ya, tahun depan ini tempat sudah tidak bisa dipakai lagi. Harusnya TPA regional di bawah Pemerintah Provinsi NTB ini mati tahun ini. Tapi ada perluasan landfill lagi. Sekitar 1 hektar lebih. Umurnya jadi bertambah. Inilah TPA yang dioperasikan sejak tahun 1993 yang dirancang untuk sekitar 900 meter kubik sampah, kini sudah berlipat-lipat volumenya. Sumber sampah dua ; Lombok Barat dan Kota Mataram. Sampah Kota Mataram lebih banyak. Rata-rata 200 ton per hari. Sampah Lombok Barat rata-rata 100 ton per hari. Sampah sudah jadi gunung. Sama tingginya dengan Gunung Kawangan di dekatnya. Gunung tempat saya biasa cari kayu bakar waktu kecil dulu. Selama masa pembangunan landfill untuk memperpanjang umur, sampah yang masuk dibatasi. Sekedar pembatasan sampah masuk ini saja bikin dua daerah pusing bukan main. Dicarilah tempat penampungan sementara. Belum ketemu sampai sekarang. Ada lahan di salah satu desa, tapi warganya menolak. Takut tercemar lingkungan mereka.
Begitu lama TPA Kebon Kongok beroperasi, apa bentuk sentuhan industri pemerintah agar sampah tidak sekedar menumpuk? Belum terlihat. Efek ekonomi ke warga sekitar pun minim. Sampah tidak menjadi berkah bagi warga sekitar TPA. Warga Desa Suka Makmur, desa yang menjadi lokasi TPA, masih banyak miskin. Selain bertani, sebagian jadi TKI. Berkunjunglah ke desa ini. Hampir tidak ada jenis usaha warga yang berkaitan dengan pengolahan sampah menjadi barang bernilai ekonomis. Tentu bukan salah warga, penanggungjawab TPA lah yang seharusnya banyak berkreasi agar warga sekitar bisa mendapat berkah keberadaan sampah yang masuk ke desa mereka. Sementara itu, warga sekitar saban hari dibayangi dengan ancaman pencemaran lingkungan terutama dari cairan LINDI. Cairan yang dihasilkan oleh paparan air hujan ke sampah. Juga ancaman gas kimia dari sampah.
TPA Kebon Kongok akan ditutup. Secara khusus, saya berpendapat sebaiknya Pemkot Mataram dan Pemkab Lombok Barat memikirkan sampahnya masing-masing. Tidak usah ada TPA bersama.
1. Pemkab Lombok Barat sudah dari sekarang mesti menyiapkan lokasi permanen untuk menampung sampahnya. Dari sekarang sudah ditimbang semuanya. Dimana lokasinya. pemetaan risikonya. Dampak lingkungannya. Potensi ekonomi warga sekitarnya. Hingga hal-hal lain yang selama ini tidak mampu dilaksanakan oleh pemerintah provinsi di TPA Regional Kebon Kongok. Terutama menyangkut pendekatan teknologi untuk menekan dan memanfaatkan volume sampah di hilir. TPA Kebon Kongok berada di Lombok Barat. Desa-desa yang dilalui berada di Lombok Barat. Warga yang terkena dampak adalah warga Lombok Barat. Seperti patungan saham, saham Lombok Barat jauh lebih banyak. Sayang, operator perusahaan dalam hal ini Pemprov tidak mampu berkreasi besar agar Lombok Barat dapat banyak keuntungan. Wajar. Sebab sahamnya lebih besar.
2. Dengan sumber daya yang dimiliki, dengan finansial yang memadai, Pemkot Mataram pasti bisa mengelola sampahnya sendiri. Ada beberapa TPST yang dimiliki Mataram, itu bisa dimaksimalkan. Sebagai ibu kota provinsi, Mataram punya banyak pakar. Beban sampah 200 ton lebih per hari pasti bisa ditangani.
3. Jika Pemkot Mataram tidak bisa menangani sampahnya, dan mau tidak mau harus membuang di Lombok Barat, maka Pemkab Lombok Barat bisa menawarkan skema yang tidak merugikan Lombok Barat. Ini mirip-mirip dengan peringatan yang disampaikan Gubernur Jawa Barat ke Gubernur Jakarta bahwa selama ini sumber air dan udara Jakarta adalah Jawa Barat. Maka Jabar meminta Jakarta berinvestasi besar ke Jawa Barat di bidang lingkungan. Harus ada lahan khusus yang harus ditangani Jakarta sebagai bentuk “terima kasih”. Lombok Barat juga begitu. Menampung sampah Kota Mataram adalah juga menampung risiko-risikonya. Nah risiko-risiko inilah yang harus ditangani Kota Mataram sebagai bentuk “terima kasih” itu.
4. TPA adalah hilir. Hulunya ya dari mana sampah berasal. Siapapun pemimpinnya, masalah sampah tidak akan pernah bisa tuntas jika hanya menangani hilir. Saya membaca berita soal sampah sebelum membuat catatan ini. Berdasarkan data agregat dari 285 kabupaten/kota di Indonesia, ada 34,3 juta ton sampah per tahun. Dari jumlah itu, yang terkelola 21,94 juta ton (63,96 persen) dan tidak terkelola 12,36 juta ton (36,04 persen). Dari mana sumber sampah? Sebanyak 38,3 persen berasal dari rumah tangga, 27 persen dari pasar tradisional. Jika melihat jenisnya, 40,7 persen adalah sisa makanan, 13,3 persen ranting/daun, 11,1 persen kertas karton.
Saya membayangkan, sebelum sisanya masuk ke TPA, sampah rumah tangga menjadi bagian dari sirkulasi ekonomi desa. Warga dibiasakan tidak membuang sampah sembarangan, terbiasa memilah sampah berdasarkan jenisnya. Lalu setelah itu pemerintah desa mengintervensinya. Sampah organik warga jadi pupuk, sampah anorganik diolah jadi barang bernilai ekonomis. Semua berputar di desa dulu. Dana Desa masing-masing insya allah bisa untuk proyek lingkungan ini. Jadi sampah muternya di desa dulu. Muter-muter yang bermanfaat. Barulah sisanya masuk ke TPA. Di tempat terakhir.
5. Sekali lagi, Kota Mataram dan Lombok Barat sudah harus “bercerai” di soal sampah ini.