Opini: Kontroversi "Wartawan Bodrex" dan Kemunduran Etika Politik di Lombok Barat
Oleh: Amaq Keseq
Lombok Barat kembali diguncang oleh pernyataan kontroversial Bupati Lombok Barat, H. Lalu Ahmad Zaini (LAZ), yang melontarkan istilah "oknum wartawan Bodrex" dalam satu kesempatan (29/9). Pernyataan ini sontak menuai respons keras dari insan pers, terutama dari wartawan yang merasa direndahkan martabat profesinya.
Polemik Pernyataan Bupati
Istilah "wartawan Bodrex" digunakan untuk menggambarkan wartawan abal-abal yang bekerja tanpa kredibilitas dan lebih mencari amplop ketimbang berita. Namun, melabeli secara terbuka seperti itu tanpa bukti yang jelas dan tanpa mengedepankan mekanisme klarifikasi atau kode etik jurnalistik, bukan hanya mencederai profesi jurnalis, tetapi juga melemahkan semangat demokrasi lokal
Respons Balik dari Wartawan
Respons balik dari pihak wartawan yang menyebut jabatan Bupati diduga didapatkan dengan cara-cara kotor seperti "melacur" dan "menyogok masyarakat" juga tidak kalah mencengangkan. Tudingan tersebut bukan sekadar kritik, melainkan sebuah peluru tajam yang menyasar langsung pada legitimasi seorang kepala daerah.
Introspeksi dan Solusi
Dalam situasi seperti ini, introspeksi menjadi hal yang mutlak. Bupati sebagai figur publik seharusnya mengedepankan etika berkomunikasi. Kritikan terhadap wartawan, jika memang diperlukan, bisa dilakukan melalui Dewan Pers atau jalur mediasi. Sementara, wartawan juga wajib menjaga marwah profesi dengan menulis berdasarkan fakta, bukan emosi.
Dialog Terbuka dan Sinergi
Kita tidak membutuhkan lebih banyak label seperti "Bodrex" atau "melacur" dalam ruang demokrasi lokal. Yang kita butuhkan adalah dialog terbuka, kritik yang membangun, serta sinergi antara media dan pemerintah demi kesejahteraan masyarakat Lombok Barat. Dengan demikian, kita dapat membangun komunikasi yang bermartabat dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap dua pilar penting demokrasi: pemerintahan dan pers.
Oleh: Amaq Keseq
Gerung, 29 September 2025